Mantan Perawan

ad+1

Waktu itu tahun 1996, bulan September, aku baru saja pulang dari KKN di desa, di daerah Kabupaten Blora
(sekarang masuk Kabupaten Cepu), dua hari setelah sampai di rumah, ada telepon dari salah satu sepupuku,
katanya dia sedang Study Tour ke kotaku. Sepupuku ini masih sekolah di SMUK di daerah Madiun, sebenarnya
aku belum pernah bertemu langsung dengan dia, jangan heran ya, sebab dia sepupu jauh sekali.
Cerita Sex Terbaru Mantan Perawan

Sepupuku ini baru sempat bertemu dengan ortu ku dan kakakku saja sewaktu mereka pergi ke daerah asal
sepupuku di Jatim. Nah, ketika dia Study Tour ke kotaku, dia ingin mampir dan menginap di rumahku, terus
dia minta dijemput di depan salah satu bank di dekat Jalan yang jadi trade marknya kotaku. Maka, aku
bersama kakakku menjemput dia.
Pukul 4:25 sore, aku sampai di depan bank tersebut. Mobil kuparkir, lalu aku bersama kakakku sambil
membawa 2 payung menghampiri bis-bis yang diparkir di depan bank, agak lama juga aku mencari sepupuku
ini, maklum aku belum pernah bertemu dia dan kakakku sendiri agak lupa dengan wajahnya. Setelah kurang
lebih 5 menit, akhirnya bertemu juga. Kemudian kami pulang ke rumahku, dia senang sekali bisa bertemu
denganku.
Awalnya dia berencana mau menginap 1 hari tetapi kemudian dirubah jadi 2 hari. Sepupuku ini tidak punya
saudara laki-laki, jadi ketika kami bertemu, dia senang sekali dan menganggap aku seperti kakak
kandungnya. Selama dia menginap di rumah, dia selalu ingin dekat denganku terus. Aku menganggap biasa-
biasa saja dan tidak ada pikiran lain.
Ketika dia mau pulang, dia mau pulang sendirian, orang tuaku sepertinya tidak tega melepas dia pulang
sendirian, akhirnya aku disuruh mengantar dia pulang ke Jawa Timur, padahal waktu itu aku sedang berobat
jalan karena aku mengidap alergi serpihan kulit manusia (aneh ya..? aku saja dulu tidak percaya). Aku
harus datang ke dokter pribadiku setiap hari Selasa dan Jum’at buat disuntik.

Tetapi, menurutku tidak apa-apa karena kupikir nanti jika sudah sampai di sana, aku langsung pulang saja
pikirku. Jadilah aku mengantar dia pulang ke Jawa Timur. O.. iya, sebelum terlalu jauh aku bercerita,
kuperkenalkan dahulu diriku, namaku Padi dan nama sepupuku Ana. Di jalan kami bercerita tentang daerah
asalnya yang ternyata ada di kawasan pantai utara Jawa Timur.
Kami mampir ke Madiun dulu, karena katanya dia mau mengambil baju-bajunya yang mau dibawa sekalian dicuci
di rumah. Sampai di Madiun, kira-kira pukul 5:00 sore, kami menuju tempat kosnya yang sederhana di
komplek Akabri. Setelah selesai dengan urusan di Madiun, kami langsung pergi lagi meneruskan perjalanan.
Di perjalanan, aku bertanya dengan dia.
“Eh, An.. dari sini sampai ke kotamu berapa lama sih..?” tanyaku.
“Ya… mungkin kira-kira 8 jam Mas..” katanya.
Dalam hati aku berpikir,
“Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan…”
Waktu berlalu, kira-kira pukul 9 malam, kami masih ada di atas bis jurusan ke kotanya. Malam itu
kurasakan sangat dingin, apalagi ditambah tiupan angin yang sangat kencang. Di dalam bis yang lumayan
penuh itu, aku duduk di kursi kedua dari belakang sejajar dengan Ana. Pintu bis yang ada di sebelah
kananku ternyata tidak bisa ditutup, karena kuncinya rusak kata kernetnya. Ana yang merasa kedinginan
terkena tiupan angin, bingung mau bagaimana sebab dia tidak membawa jaket atau sweater buat penghangat,
sedangkan aku sendiri tidak masalah. Kemudian kutawarkan dia untuk pindah tempat duduk di sebelah
kananku, yah.. lumayan dia terlindung dari angin oleh badanku.
Sekitar 10 menit setelah itu, dia bilang katanya dia merasa mengantuk, aku tawarkan dia untuk tidur saja
di pangkuanku. Dia mau dan langsung dia rebahkan kepalanya di pahaku, waktu itu aku sebenarnya agak
kawatir dengan penumpang lainnya. Jangan-jangan ada yang berpikiran macam-macam tentang kami, meskipun
begitu aku akhirnya memutuskan untuk santai saja.
Si Ana dengan cepat tertidur dengan pulasnya, tanganku kutaruh di atas punggungnya biar dia merasa lebih
hangat. Tawaranku untuk tidur di pahaku ternyata berbekas sekali di hati sepupuku ini, sepertinya dia
merasa ada sesuatu yang lain yang dirasakannya setelah dia merebahkan kepalanya di pahaku. Mungkin karena
dia masih anak SMU yang belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang cowok, tetapi kok ya kebetulan
justru dengan kakak sepupunya sendiri.
Tidak terasa, bis telah memasuki terminal di kotanya. Waktu itu jam 1 pagi. Kami langsung mencari becak
untuk pulang ke rumahnya. Sampai di rumahnya yang sederhana (bapaknya bekerja sebagai sipir penjara dan
ibunya guru SD), aku langsung disambut oleh Omku. Kami berbincang-bincang sejenak sambil nonton MTV. ceritasexterbaru.net Tidak lama kemudian, Omku minta diri untuk tidur. Aku mempersilakan Omku untuk tidur. Aku sendirian yang
belum merasa mengantuk dan meneruskan melihat TV. Si Ana sendiri ada di kamarnya sedang bicara dengan
adiknya. Kira-kira 5 menit kemudian, kudengar ada orang datang masuk ke ruang TV dimana aku berada, yang
Ternyata Ana.
Aku bertanya pada dia, “Lho.. An, kamu ngga tidur? Kan udah malem, bahkan pagi nih!”
“Lah.. mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?” dia balik bertanya.
“Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih, MTV music Awards.”
“Iya deh… tapi Ana boleh nemenin Mas ngga?”
“Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong…”
“Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin.”
Kemudian dia beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untukku. Sewaktu dia jalan ke dapur, dia
melewati ruangan makan yang gelap, sedangkan ruang dapurnya sendiri dibiarkan terang, sebab Omku orangnya
suka makan, jadi kalau malam dia sering ke dapur untuk cari makanan.
Sewaktu dia melewati kamar makan yang kebetulan bisa terlihat dari tempat dudukku, aku agak kaget karena
kulihat dasternya kelihatan menerawang terkena cahaya dari dapur. Si Ana ini sebenarnya tidak hanya manis
tetapi juga cantik, tubuhnya agak gemuk, tinggi sekitar 158 cm, ukuran dadanya berapa ya? Tidak tahu..
Kulitnya sawo matang dan yang paling menarik adalah matanya yang khas cewek Jawa, tidak besar juga tidak
kecil.
Sekilas kulihat bentuk tubuhnya sewaktu dia melewati ruang makan. Jantungku merasa agak berdebar karena
aku kan laki-laki, jadi lihat yang seperti itu kan, ya gimana gitu. Selesai dia membuat kopi, segera dia
menuju ke arahku, terus dia bergabung nonton MTV. Sejenak aku lupa akan kejadian yang mendebarkan tadi
(menurutku lumayan mendebar kan lho).
Kami berbincang-bincang sambil mengomentari pemenang-pemenang yang sedang diumumkan di TV.
Tiba-tiba dia nyeletuk, “Mas.. tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas..”
“Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas..?” kataku.
“Oke deh!”
Kemudian dia mendekat ke arahku dan merebahkan kepalanya di pahaku lagi. Nah, sekarang aku mulai
berpikiran macam-macam nih, karena kan dia hanya memakai daster dan di dalam dasternya hanya ada CD dan
BH saja. Mau tidak mau batangku mulai bereaksi pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu. Masih sekitar 10 menit
kami berbincang-bincang, tanganku kutaruh di atas pinggulnya, dan kurasa dia tidak keberatan. Lama-lama
sepertinya dia mengantuk dan mulai sembarangan kalau menjawab pertanyaan atau komentarku.
“An.. geser dikit dong, soalnya pahaku kesemutan nih! Sebentar, ganti pake bantal aja yah…?”
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di sofa, sedangkan kakinya kuangkat ke
atas pahaku.
Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pikiranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku
rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik
lagi… lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia
terbangun.
“Ngapain Mas..?”
“Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?”
“Mmm.., boleh juga.. tapi mijitnya jangan keras-keras ya Mas…”
“Oke An..”
Nah, aku teruskan kembali memijatnya, tetapi kali ini mijatnya lain, aku kan sedikit-sedikit pernah baca
tentang pijatan erotis, maka aku mencoba untuk mempraktekkannya sekarang. Pertama kuletakkan tanganku di
telapak kakinya, terus kucari simpul yang bisa membangkitkan gairah seksnya.
“Nah, ketemu nih…” batinku.
Pelan-pelan kupijat bagian itu sambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
Setengah sadar dia bertanya,
“Mas, kok enak banget sih pijitannya?”
“Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih hebat.” jawabku.
Lama kelamaan dia jadi tidak merasa ngantuk, tetapi menikmati pijatan-pijatan tanganku sambil
mengeluarkan suara lenguhan yang sangat merangsang,
“Nngggh… ngghh… enak loh Mas… agak naik dikit Mas.. yang ini lho di atas dengkul…, ya.. di situ… terus..
terus..”
Aku tahu dia tidak sadar kalau sedang aku kerjain. Lama-lama kulihat dia sepertinya mau bangkit dari
tidurnya. Kemudian waktu kubiarkan, ternyata dia tiba-tiba memelukku dan berusaha mencium bibirku. Aku
sendiri menyambut ciumannya dengan bersemangat.
“Wah, lha ini nih yang kunanti,” batinku.
Ciumannya lumayan dahsyat, sampai lidahnya masuk ke mulutku seperti ular. Lidahku sendiri jadi tidak mau
kalah menyambut lidahnya yang masuk ke mulutku (heran juga anak ini kok bisa senekat ini pikirku). Dan
ternyata, kok luar biasa ciummannya untuk ukuran anak SMU yang belum pernah pacaran, tangannya melingkar
di punggungku dan berusaha masuk ke dalam t-shirtku.
Gerakan tubuhnya terlihat sekali terbakar oleh rangsangan yang kuberikan melalui pijatan tadi, tubuhnya
naik turun sambil sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lama-lama daster yang dia kenakan tertarik ke
atas oleh karena gerakannya tersebut, dan tanganku pun bisa leluasa untuk memegang pantatnya. Dia memakai
celana dalam yang tipis berenda. Pelan-pelan kumasukkan tanganku ke dalam CD-nya dari atas. Aku berhasil
memegang pantatnya, wah.. seketika aku merasakan suatu gelora dalam diriku, sepertinya aku sendiri mulai
terserang rangsangan yang sangat kuat.
Aku pijat-pijat pantatnya, sementara kami masih saling berpagut, dia sendiri terlihat sangat menikmati
pijatan tanganku pada pantatnya. Lalu aku mulai menaikkan tanganku, berusaha untuk membuka dasternya.
Tanpa hambatan, aku berhasil menaikkan dasternya sampai ke bagian leher, kudorong dia pelan-pelan ke
belakang, dia berusaha untuk tetap memelukku.
Aku berbisik padanya,
“An.. tolong kamu mundur sebentar, aku tolong kamu nglepasin dastermu.”
Dia mengangguk pelan, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
“An.. gimana kalo semuanya aku buka…?” tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, “Silakan Mas…”
Kubuka pelan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
“Ehm… Mas.., Ana sayang sama Mas…” katanya.

Aku tidak menjawab perkataannya. Kemudian kudekatkan wajahku ke buah dadanya dan mulai mengulum-ngulum
pucuk bukitnya. Dia terlihat sangat menikmati perlakuanku tersebut, matanya terlihat sayu dan sepertinya
mengharap yang lebih dari sekedar dikulum pucuk bukitnya.
Aku menengok ke arah jam dinding yang terletak di atas pintu, jarum menunjukkan pukul 12:08 malam. Aku
sempat berpikir, sebenarnya bahaya kalau tiba-tiba Om atau Tanteku memergoki kami yang sedang asik di
sini. Sekejap aku memutar otak, aku lalu berbisik ketelinga Ana.
“An.. kita pindah ke kamarku aja yah?”
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget,
“Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?”
Aku rasakan ternyata Ana sepertinya tersadar atas apa yang sedang diperbuatnya. Dengan terburu-buru, dia
menyambar pakaiannya dan berusaha lari menuju kamarnya. Cepat sekali kejadian itu berlalu, aku sendiri
tidak sempat melakukan apa-apa, aku hanya melongo seperti Mandra diputus Munaroh. Gila, pembaca tahu
sendiri kan? Lagi enak-enak bercumbu, tidak tahunya putus di tengah jalan. Tetapi aku sendiri maklum,
sebenarnya Ana adalah anak yang taat beribadah. Dan kuyakin yang barus saja kualami, sebenarnya dia
melakukannya di bawah sadar.
Paginya, aku bangun sekitar pukul 9:00, ternyata aku semalam ketiduran di depan TV. Aku ngucek-ucek
mataku sambil mencari dimana kacamataku, agak lama kucari, tetapi tidak ada.
“Mana ya?” aku bergumam pelan.
Kebetulan Tante yang berjalan melewati ruang TV menuju dapur mendengar gumamanku.
“Cari apa Di?” tanya Tanteku.
“Tante liat kacamata Padi ngga?”
“Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi,” sambil dia berjalan menuju ke arahku ingin
membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, “Yep.. nanti dicari lagi deh Tante.. biar Padi mandi dulu.”
kataku.
“Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya.”
“Oke Tante..” sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
Kamarku terletak di sebelah kamar Ana, sempat kulihat dari celah kamar yang tidak tertutup semua. Ana
masih kelihatan pulas tidurnya. Mungkin dia tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Habis mandi aku
menuju ke ruang TV lagi untuk mencari kacamataku yang masih sembunyi. Ternyata tante sudah ada di sana
sedang nonton TV.
Aku tanya ke tante,
“Ketemu ngga kacamatanya Tante?”
“Ngga tuh Di.. udah tante cari dimana-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini
deh.”
“Waduh… gimana nih… susah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata,” pikirku,
“Ya apa mau dikata, kalo lagi apes, gini deh jadinya.”
Pukul 9:30, kulihat kamar Ana sudah terbuka, beberapa menit kemudian Reni (ini nama adiknya) bergabung
dengan kami di ruang TV sambil membawa nampan berisi 4 gelas teh.
Aku tanya dia,
“Kok cuman empat gelasnya Ren?”
“Ooo, Papa kan udah berangkat kerja Mas.., jadi Reni bikinnya cuman 4.” jawabnya.
“Gitu ya?” sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota Tuban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
“Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?” tanyanya.
“Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana,” spontan aku menyahut,
“Heh! Itu pasti kacamataku.”
“Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!” sahut Tante,
“Sana cepet ambilin!”
Reni lalu berdiri dan mesuk kamar untuk mengambil kacamataku. Aku berpikir, mungkin kacamataku semalam
kesangkut di bajunya Ana. Sesaat kemudian Reni kembali membawa kacamataku, aku sempat was-was, moga-moga
Tante tidak curiga kenapa kok kacamataku sampai bisa mampir kesana. Memang ternyata dia tidak curiga sama
sekali.
Pukul 10:00, Tante pamit mau berangkat ke pasar yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, si Reni
ikut. Aku ditinggal sendirian. 5 menit waktu berlalu, aku mulai bosan, terus aku menuju teras depan ingin
merokok. Di teras ternyata ada koran edisi hari itu, aku tertarik untuk membacanya. Kubolak-balik
halamannya, tidak ada yang menarik.
Bosan lagi deh, ngelamun jadinya. Aku teringat kejadian tadi malam.
Dalam hati aku berpikir,
“Sekarang di rumah cuman ada aku berdua sama Ana. Wuih! kalo… hehehe kalo… misalnya aku iseng gimana ya?”
Akhirnya, ternyata aku nekat juga.
Aku bangkit dari tempat dudukku, masuk ke dalam. Sampai di depan pintu kamarku, aku punya ide.
“Mmmm harusnya pintu depan kututup ya, terus aku pasangkan kaleng krupuk di bagian dalam, biar kalo
kebuka dari luar kalengnya kegeser dan bikin suara brisik.” pikirku.
Cepat-cepat kukembali ke ruang tamu dan melakukan rencanaku. Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar,
hati-hati kuintip ke dalam kamarnya Ana, ternyata dia masih pulas tertidur. Aku berjingkat masuk ke
kamarnya, perlahan aku duduk di samping tidurnya. Dia tidurnya mengorok hingga aku mau tertawa waktu itu,
tetapi kutahan karena takut dia terbangun. Dengan hanya diterangi lampu baca (kamarnya tidak ada
jendelanya), kupandangi wajahnya lama. 5 menit lebih kupandangi dia, semakin lama semakin manis.
“Gila ya, dengan adik sepupu kok seperti itu?” tapi pikirku,
“Biarin aja lah, iseng-iseng berhadiah.”
Kemudian aku mulai mencoba membelai rambutnya, pelan tetapi pasti. Dia tidak bereaksi, dia tidurnya
brukut (memakai selimutnya sampai menutupi leher). Aku berusaha membuka selimutnya perlahan, kutarik ke
bawah dan dia tetap tidak bereaksi. Kumasukkan tanganku ke dalam selimutnya sambil berusaha mencari
payudaranya. Dengan tanpa kesulitan, tanganku sudah memegang payudaranya, tetapi masih terhalang
dasternya.
“Eit… nanti dulu… ternyata dia ngga pake BH! Berarti semalam dia ngga pake BH-nya lagi dong, wah asik
nih…” pikirku.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah
memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
Ana menggeliat, agak keras menggeliatnya, dia terbangun.
“Mampus gua,” pikirku.
Dia melotot sambil teriak, “Lepasin dong Mas… apa-apaan nih Mas?”
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, “An… kamu ngga inget semalem ya?”
“Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!”
“Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho… kenapa ngga sekalian aja?” rayuku.
Kali ini dia benar-benar marah. Ana teriak-teriak menyuruhku keluar dari kamarnya. Aku turut saja, untung
letak rumahnya berjauhan dengan tetangga, jadi aku tidak takut teriakannya terdengar tetangganya.
Wah… gagal nih ceritanya.., aku akhirnya hanya meraba-taba batang kemaluanku yang menganggur karena tidak
jadi dipakai. Aku duduk di ruang TV lagi. Melihat acara tarian Bangkok, lumayan lah buat obat, melihat
penyanyi Thailand yang cantik-cantik. Sebentar kemudian Ana keluar dari kamarnya, dia menuju ke arahku.
Aku berusaha tidak peduli, dia lalu duduk di dekatku.
Katanya,
“Mas maapin Ana ya? Ana udah bentak-bentak Mas…”
“Ngga papa An.., Mas yang salah.” balasku.
“Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-
Mama kan bisa berabe Mas!” jelasnya.
“Ya sudah.. lupain aja An, toh kamu masih muda. Nanti juga pasti ada cowok lain yang lebih pantas buat
kamu.” lanjutku.
“Iya Mas, Mas… Ana mau ngasih sesuatu buat Mas.”
“Apa An?” tanyaku.
“Liat sini deh Mas..” (dia mulai tidak kaku lagi)
Aku menoleh ke arahnya, tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya ke arah bibirku.
“Mmpphh…”
“Plas!” jantungku spontan berdegup keras, “Kok tau-tau nyium sih?” pikirku, tetapi kunikmati saja, enak
sih.
Pertamanya dia hanya mau mengecup saja, tetapi kulingkarkan tanganku di lehernya, dan kudekap dia. Dengan
lembut kukecup bibirnya, dia tidak berontak ternyata, aku pererat dekapanku, dada kami sudah saling
menempel. Aku merasakan kalau dia masih belum memakai BH-nya. Dengan perlahan kubelai punggungnya,
dasternya yang terbuat dari sutera terasa halus sekali, sensasinya justru membuatku jadi semakin ON saja.
Coba saja pasangan anda disuruh pakai lingerie yang bahannya sutera, ditanggung kalau diraba pasti enak
sekali. Lama kami berciuman dengan posisi itu, akhirnya capai juga aku. Kulepas pelukanku dan mengakhiri
ciuman.
Aku berkata pada Ana, “Sini An… Mas pangku..”
“Ngga ah Mas… nanti kayak tadi malem deh jadinya…!”
“Percaya deh sama Mas… ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?”
Dia akhirnya mengalah, mungkin dia masih ada rasa ingin juga, dia juga tahu kalau sekarang kami hanya
berdua saja di rumah, So? Why not?. Dia duduk di pangkuanku menghadap TV, tanganku bergerak dengan bebas
di dadanya.
Kuraba dadanya sambil berkata,
“An.. Ana ngga marah-marah lagi nih?”
“Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen…” pintanya.
“Okey An!”
Dari belakang, sambil tanganku membelai payudaranya, kulihat dia memejamkan matanya menikmati belaian
tanganku. Tanganku meraba payudaranya dengan hati-hati, penuh perasaan aku membelainya, aku sendiri
memejamkan mataku jadinya. Pelan tapi pasti, tanganku bergerak turun menuju perutnya. Agak dekat dengan
V-nya kugunakan kuku jariku yang agak panjang untuk membangkitkan rangsangan di perutnya. Kulirik dia,
terlihat dia menahan perutnya dengan membuat kaku daerah itu.
Dia menikmati perbuatanku, perlahan dasternya kutarik ke atas, dia diam saja, ujung dasternya sudah
sampai ke pahanya. Sedikit lagi pasti aku bisa meraih celana dalamnya. Akhirnya sampai juga, CD-nya sudah
tidak tertutup lagi, sekilas kulihat bercak basah di ujung V-nya. Tanpa berpikir lama, kupindahkan
tanganku ke sana, tanganku merasakan memang di daerah itu sudah basah.
Kusimpulkan pasti dia sudah terangsang berat. Lalu kuselipkan tanganku ke dalam CD-nya, tetapi dia kali
ini menahan tanganku supaya tidak masuk ke sana. Aku urungkan niatku untuk itu, tanganku hanya
menggosok-gosok dari luar saja. Kemudian terlihat dia mengeluarkan lenguhan dan badannya menegang,
seperti menahan sesuatu. Orgasme rupanya. Lalu badannya melemas lunglai di pelukanku.
Tanganku yang masih berada di selangkangannya merasakan kalau CD-nya bertambah basah. Kemudian Ana
memandangiku. Lama kami berpandangan.
Ana kemudian bicara,
“Mas, kita lakukan yuk. Ana udah ngga tahan…”
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara
lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena
remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh
tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Kini ia polos tanpa satu benang pun menutupi tubuhnya. Kemudian aku membopongnya ke kamar tidurku dan
kubaringkan ia di tempat tidur, lalu kuciumi seluruh tubuhnya. Tubuh Ana bergetar hebat, menandakan bahwa
dia baru pertama kali ini melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Kemudian aku mencium dan menjilat bagian perutnya dan mulai ke bawah dan mulai meraba serta membuka kedua
pahanya degan kedua tanganku. Tangan kananku membuka belahan vaginanya sedangkan seluruh bagian mulutku
mulai mengolah bibir-bibir vaginanya. Tangan kiriku masih meremas buah dadanya yang sebelah kanan. Aku
merasakan adanya cairan yang mulai membasahi permukaan bibir vaginanya. Aku terus menyedot dan
menggigit-gigit perlahan labia mayoranya dengan asyik, sedangkan tangan kiriku sekarang meraba-raba
klitorisnya dengan cairan pelumas dari lubangnya.
Asyik sekali, karena terlalu keasyikannya, secara tidak sadar, ada dua tangan menjambak rambutku, aku
tidak menghentikan aktivitasku. Mulanya kupikir hanya gerakan kenikmatan yang diterimanya secara erotis.
Eh, kok tambah lama terasa ada goyangan perlahan di bagian selangkangannya. Begitu pula tanpa kusadari,
ada suara-suara nafas tertahan dan jambakan di rambutku bukan lagi jambakan pasif, tetapi mulai membelai
dan memegang kupingku. Aku tiba-tiba sadar. Dia benar-benar menikmatinya. Aku termanggu duduk di antara
selangkangannya dan melihat ke arah wajahnya.
“Kok.., berhenti Mas..?” suaranya berat perlahan dengan tatapan wajah yang sayu.
“Ehh.. terusin Mas… hhh… kurang dikit lagi..!” suaranya tertahan.
Aku masih terduduk bingung dan memandangnya dengan pandangan bodoh. Dan yang menjengkelkan, batang
kejantananku tidak berkompromi. Dia tegak mengacung, sehingga mencuat di antara kaosku. Kepalanya tampak
licin karena cairan bening yang keluar. Sebenarnya batang kejantananku lumayan besar dan panjang,
sehingga tampak mencuat tinggi.
Tiba-tiba Ana bangun, dan duduk di hadapanku, memandangku dengan sayu. Tiba-tiba tangannya mulai bergerak
ke arah batangku, dan memegang lama sambil tersengal-sengal sehabis melumatnya. Kemudian memandangku
perlahan dan meletakkan dirinya telentang di ranjang. Ana berdiri di atas tempat tidur dan berjongkok di
depanku. Kemudian dia membuka kedua pahanya dan mengangkat lututnya ke atas sehingga lubangnya terlihat.
Ia meraba permukaan vaginanya sambil perlahan memandangku dan berkata,
“Ayo Mas… masukin..!”
Aku seperti tersihir, antara bingung dan nafsu, menggerakkan diri untuk berlutut di antara kedua pahanya
dan memegang kepala batangku yang licin terkena ludahnya dan mengarahkannya ke lubang merah mengkilat
itu. Sejenak aku lupa bahwa dia masih belasan tahun, yang kurasakan secara reflek setelah dikenyot
habis-habisan olehnya, ialah bahwa ia sudah tidak perawan lagi.
Dan,
“Ssleeeppp..” ketat tetapi tidak begitu menjepit dan tanpa hambatan sama sekali (benar dugaanku).
Aku menusukkan seluruh panjang batangku ke dalam lubang itu, dan hebatnya seluruh panjangnya batang
kejantananku itu masuk total ke dalamnya serta membiarkannya sejenak merasakan denyutan hangatnya. Ana
melenguh agak keras. Aku khawatir juga karena dia akan merasakan sakit di bagian dalam vaginanya. Tetapi
karena malaikat nafsu lebih berkuasa, ya sudah aku santai saja dan mulai menarik batangku itu dari dalam
lubangnya dan memasukkannya lagi seluruhnya.
Entah karena apa, aku tidak begitu merasakan rasa nikmat yang cepat naik. Memang terasa basah, licin dan
enak tetapi, ya lebih karena ini memang sedang bersetubuh. Aku mulai berpraktek dengan berbagai macam
cara menusuk dan arah tusukan ke dalam lubang vaginanya. Yang mulai mencemaskanku, Ana sama sekali tidak
berusaha menahan suaranya. Ia mulai melenguh dan mengerang keras-keras ketika aku mulai mempercepat
gerakanku. Aku antara cemas dan mulai nikmat, tidak peduli lagi. Lagi pula suaranya mulai merangsangku
dan ini membuatku menusuk-nusuk dengan gerakan yang cepat dan keras.
“Aaahhh… aayooo Mass… aaduhh… cepat Masss..!” pintanya dengan nafsu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, ceritasexterbaru.net berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai
di puncak.
Tiba-tiba Ana menghentikan gerakanku, dan menutup kedua pahanya sehingga terasa ada jepitan yang luar
biasa di sekujur batangku. Kemudian dia memandangku sayu. Aku tahu apa yang dimaksudkannya dan mulai
menggenjot lagi. Aku menjepitkan kedua betisnya di antara leherku dan bertumpu pada kedua tangan, sedang
aku membentuk busur dengan tubuhku, merapatkan kedua pahaku sehingga terasa batangku membesar dan mulai
menusuk-nusuknya cepat.
“Aaahhh… sss…” terdengar bunyi-bunyian antara suaranya yang merangsang dan bunyi kecepakan kemaluan kami
yang beradu, sedangkan aku sendiri mengeluarkan suara helaan nafas yang cepat.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan aliran yang semakin cepat memenuhi pinggul dan seluruh tubuhku.
Keringatku telah mengucur deras.
Dan,
“Annn… Annaaa… aaadduuhhh… ssss… Ann..!” spermaku menyemprot deras ke arah perutnya.
Aku mengerang keras dan terus mengocok batang kemaluanku. Kemudian tanganku yang mulai begerak ke arah
vaginanya segera menusuk-nusukannya. Lama aku terus menusuk-nusuk lubangnya karena rasa nikmatnya terus
mengalir hingga tidak berapa lama kemudian Anna berkata,
“Masss… aaa… Maass… ssshhh… aaddduuhh..!”
Ana menaikkan pelvisnya dan menerima tusukan-tusukan terakhirku dengan denyutan dinding vagina yang
terasa cepat dan kenyal. Aku menindih tubuhnya yang kecil dan merasakan detak jantung yang cepat di
dadanya dan dengusan nafas hangat di ubun-ubunku. Jariku masih menancap dalam di dalam vaginanya dan
merasakan denyutan yang tidak kunjung reda.
Kemudian aku tergeletak di sampingnya, aku berkata kepada Ana, “An… kamu sekarang mandi saja ya..?
Kayaknya kamu bau deh…”
“Sialan… iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas… Ana udah dikasih pelajaran sama Mas.”
“Sama-sama An..”
Aku tidak merasa menyesal karena tidak dapat seperti yang kubayangkan (gadis yang benar-benar perawan).
Yah, lumayanlah bisa meraba-raba kan? Ana lalu berdiri hendak menuju ke kamar mandi, sebelum dia pergi
dia menoleh ke arahku lalu menunduk dan menciumku sebentar. Aku belaikan tanganku ke dadanya dan V-nya.
Dia tersenyum memandangku, lalu bergegas menuju kamar mandi. Saat dia menutup kamar mandi, aku sempat
dengar langkah kaki berlari menjauh dari arah pintu ruang tamu. Aku cepat-cepat menuju ruang tamu ingin
mengetahui siapa yang baru saja dari sana. Sempat kulihat warna bajunya, biru seperti yang dipakai Reni.
“Mungkinkah..?” batinku.
Aku kembali ke ruang TV, sambil menebak-nebak,
“Apa iya.. tadi itu si Reni, terus kalau benar, berarti dia tahu dong kita lagi ngapain..? Waduh, terlalu
serius sih tadi… jadinya begini deh.”
Kurang lebih 20 menit, Tante dan Reni datang dari pasar, Tante katanya mau masak Sop buntut dan membuat
Rujak cingur. Siang jam 12:30, Ana mengajakku untuk makan. Saat makan, Reni kelihatan agak canggung
melihatku, pikiranku lalu menghubungkan dengan peristiwa yang tadi kualami.
“Berarti tadi memang benar Reni..” pikirku.
Kami tidak bicara banyak saat di meja makan. Akhirnya sore pun tiba, Omku sudah datang sejak jam 3:00
tadi. Aku lewatkan seharian dengan bermain playstation dengan Ana, sedangkan Reni dari tadi berada di
dalam kamarnya. Tidak tahu sedang berbuat apa dia, betah-betahnya di dalam kamar terus. Tante sendiri ke
rumah tetangga untuk membantu masak, kebetulan tetangga ada yang sedang punya hajat.
Jam 8:00 malam, aku membaca-baca majalah di ruang tamu. Ana dan Reni di ruang TV sedang nonton HBO, tidak
tahu apa film-nya. Tante sudah tidur di kamar belakang, lelah sehabis membantu tetangga. Si Om malam ini
mendapat tugas jaga malam. Jam 9:00, Ana ke ruang tamu, dia bicara padaku kalau mau tidur duluan, Reni
masih mau nonton TV menunggu opera sabun kegemarannya di HBO kata Ana.
Ana suruh aku menemani Reni di ruang TV, soalnya si Reni anaknya sedikit penakut katanya. Jadi aku pindah
ke ruang TV, kubawa majalah yang sedang kubaca. Aku rebahkan badanku di sofa panjang di depan TV. Reni
sendiri duduk di kursi favoritnya, tanpa sekali pun menengok ke arahku. Aku teruskan baca artikel yang
sempat terputus tadi, sambil sekali-sekali aku melihat ke arah televisi. Aku lihat ke arah jam tanganku,
ternyata sudah jam 11:13.
Aku berkata kepada Reni, “Ren.. kamu ngga ngantuk?”
Dia tidak menjawab, kuulangi lagi dua kali baru dia menjawab, “Belum ngantuk kok Mas, lagian film-nya
barusan mulai nih.”
“Oke.. kalau gitu Mas pergi tidur dulu ya..?”
“Ntar dulu dong Mas, tunggu film-nya abis… kan Reni takut nonton sendirian, film-nya agak horor nih!”
pintanya.
“Sofanya dibuka aja… jadiin tempat tidur, Mas tidur di situ aja.” katanya lagi.
“Emang bisa Ren..? Oke deh Mas coba.”
Aku coba deh usul Reni, dan aku akhirnya tidur di sofa yang sudah diubah menjadi tempat tidur itu. Tidak
tahu berapa lama aku tertidur di situ, tiba-tiba aku terbangun merasakan tanganku ada yang memegang. Aku
buka mataku sedikit-sedikit, terlihat olehku Reni memegang tanganku, digosok-gosokkannya tanganku ke
selangkangannya. Terasa olehku bulu-bulu halus di ujung jariku. Kulirik mukanya, dia mendesah amat pelan.
Wajahnya menghadap ke arah televisi, aku jadi curiga, jangan-jangan?
Aku lalu mencoba melihat ke layar televisi, ternyata di sana terlihat film-nya sudah bukan HBO lagi.
Kesimpulanku, si Reni ternyata suka nonton sampai malam berarti hanya untuk menyetel VCD porno. Wow!
berarti kakaknya kalah dong sama adiknya. Perlu diketahui, jarak umur antara Ana dengan Reni hanya 1
tahun lebih sedikit, apalagi Reni anaknya agak bongsor, tingginya sepundakku, tidak begitu gemuk tetapi
cukup berisi.
Singkat kata, aku beruntung kali ini, karena mendapat daun muda nih. Perlahan, tanganku yang masih bebas
berusaha melorotkan celana dalamku ke bawah. Sementara Reni masih asyik dengan kegiatannya yang semakin
lama semakin menjadi, dia seperti terobsesi dengan film dari VCD tersebut. Lenguhannya kadang-kadang
terdengar keras.
Lalu perlahan-lahan tanganku yang dia pegang kutarik ke arah kemaluanku. Setelah dekat, tanganku yang
satunya dengan cepat kurangkulkan ke pinggangnya dan menariknya ke atas tubuhku. Dia kaget sekali, hampir
dia berontak, tetapi selanjutnya dia justru memegang batang kejantananku dan mulai mengocok-ngocok dengan
lembut.
Aku pun lalu mengimbanginya, kuubah posisiku agar lebih enak dengan bersandar ke belakang, ke sandaran
sofa. Dia menoleh ke arahku, terlihat wajahnya yang khas ABG, mengingatkanku kepada cewek-cewek yang suka
nongkrong di mall-mall. Posisi tubuh kami akhirnya saling berhadapan, dia menggesekkan tubuhnya naik
turun. Payudaranya ditempelkan ke dadaku. Nafasnya terdengar keras, khas orang yang sedang terangsang
berat, “Sshhhsshhsshhss…” seperti itu deh kalau tidak salah.
T-shirtnya yang gombrong mulai basah terkena keringatnya, memang malam itu udara terasa sangat panas, aku
sendiri juga merasa kepanasan. Aku peluk dia, tanganku kutelusupkan ke dalam t-shirtnya dari belakang,
sedangkan bibirku tidak tinggal diam begitu saja, kucium belakang kupingnya dengan pelan, kuhembuskan
nafas secara perlahan ke daun telinganya. Terasa olehku Reni semakin menggila, terasa dari gerakan
tubuhnya yang turun naik dengan cepat, digesekkannya dadanya ke dadaku, juga selangkangannya dia gesek-
gesekkan ke kemaluanku dengan bernafsu.
Tanganku yang berada di punggungnya, akhirnya kugeser ke pantatnya, dari atas punggung kugerakkan ke
bawah, masuk ke celananya sebelum sampai ke pantat. Kuputar ke samping dengan agak cepat, lalu kuteruskan
ke pinggang mencari celana dalamnya, kuraba dari luar celana dalamnya, pantatnya yang empuk kuremas
dengan gemas. Aku menyesuaikan dengan irama gerakannya yang maju mundur. Kontan dia makin menggila,
tangannya naik ke atas, rambutnya menyuguhkan gerakan yang erotis sekali. Dia berusaha menanggalkan t-
shirtnya.
Setelah t-shirtnya lepas, dia pegang kepalaku, menariknya ke arahnya dan melumat bibirku dengan sangat
bernafsu. Reni tidak memakai BH, payudaranya yang berukuran lumayan besar terlihat mengkilat karena basah
oleh keringat. Aku menjilat-jilat payudaranya, kukulum putingnya yang kecil dan tidak begitu menonjol.
Dia berteriak pelan,
“Mas..!”
Aku lalu berpindah ke bibirnya yang mungil, kulumat dengan bernafsu bibirnya itu. Dia mendesah keenakan,
akhirnya dia tidak tahan lagi.
“Ayo Mas, kayak yang di VCD itu lho Mas…” pintanya.
Kujawab, “Yang gimana Ren..?”
“Cepetan dong Mas… Reni udah ngga tahan nih..”
“Emang Reni udah pernah..?”
“Belum Mas… makanya Reni pengen coba, cepetan dong Mas…”
Kami lalu berdiri berhadapan, aku melepas pakaian yang melekat di tubuhku, dia begitu juga melepas semua
pakaian di tubuhnya. Dengan bernafsu dia pegang batang kemaluanku untuk dikocok-kocok, sensasinya, wuah!
Tidak tergambarkan. Dipegang oleh anak baru umur 18 tahun! Lalu sebentar kemudian, dia melepas batang
kemaluanku dan membalikkan tubuhnya, berpegangan pada lemari buku.
Posisinya sekarang agak menungging membelakangiku, pantatnya yang belum begitu besar terlihat kenyal.
Dari belakang, aku melihat kemaluannya sudah merekah, ada daging yang keluar dari kemaluannya, entah apa
itu namanya. Mungkin itu kli yang dinamakan clitoris. Tetapi pemandangan itu menjadikan batang
kejantananku menjadi berdenyut-denyut ingin merasakannya.
Kudekati dia, kugesek-gesekkan kepala senjataku ke daging yang menyembul keluar itu. Tangan Reni dengan
tergesa-gesa menarik batang kejantananku untuk segera dimasukkan ke dalam liang kemaluannya. Terasa agak
sulit untuk memasukinya, kutusukkan dengan keras karena aku sudah sangat bernafsu. Aku melihat ke arah
wajahnya. Pandangannya ternyata ke arah layar televisi, sambil sesekali bibirnya mengeluarkan desahan-
desahan merangsang.
“Gila!” pikirku, “Dia ternyata maniak sama VCD porno.”
Aku tingkatkan kecepatanku dalam menggoyang. Lama-lama aku merasa pinggangku capek, dan aku coba
mengarahkan dia untuk mengganti posisi classic, aku tiduran dan dia yang di atasku. Dia menurut. Sambil
memegang pantatnya, aku tiduran dan menikmati goyangannya. Badannya terlihat mungil bila dibandingkan
dengan tubuhku, suara desahannya terdengar melengking lirih di telingaku.
Pada puncak kenikmatannya, dia melengkungkan tubuhnya ke belakang, tangannya menahan berat badan tubuhnya
dengan gemetar. Rasa hangat yang terasa oleh batang kejantananku menjadi bertambah seiring dengan
tercapainya puncak kenikmatannya. Sedangkan aku sendiri belum merasakan puncak. Reni merangkulku dengan
lemas. Setelah itu, dia berbisik ke kupingku.
“Makasih ya Mas, Mas telah memberi Reni melebihi dari mbak Ana…”
“Jreng! Terkuaklah kebenaran peristiwa siang tadi, ternyata memang benar. Reni telah melihatku
bermesraan dengan kakaknya.” daliam hatiku.
“Loh, jadi tadi Reni ngelihat Mas padi gituan sama mbak Ana to?”
“Heeh Mas… Reni kepingin, lagian Reni sering ngeliat di VCD. Kayaknya enak banget deh Mas… dan ternyata
memang bener.”
“Oke deh, tapi Mas Padi belom sampai puncak nih.. gimana dong? Kan kasihan Reni udah capek.”
“Begini aja Mas… dari tadi siang emang Reni udah merencanakan ini, gini rencana Reni, tadi waktu Reni
ngeliat Mas sama Mbak Ana gituan, sebenarnya Reni mo ngambil Dompet Mama yang ketinggalan. Trus Reni
punya rencana, Reni beli CTM (obat tidur) buat dikasih ke minuman Mama ama Mbak Ana, nah.. tadi Mbak Ana
sama Mama udah minum obatnya (dicampur sama teh) masing-masing 3 butir.. hehehe.”
“Terus gimana dong?” sahutku.
“Sekarang Mbak Ana kan pasti pules banget tidurnya, diapa-apain pasti ngga bangun deh. Kan tempat tidur
sebelahnya lagi kosong…”
“Heh!” aku spontan tahu apa yang dimaksudkannya, “Sip deh! Oke Ren! Sekarang kita pindah aja ke
kamarmu…”
“Ayo..!”
Kemudian kami berdua berdiri dan menuju ke arah kamar Ana. Memang benar Ana tertidur lelap. Hanya iseng
saja, aku membuka dasternya dan menyentuh kewanitaannya Ana dan memasukkan jari telunjuk dan tengah.
Ternyata memang tidak bangun! Hanya saja dia mengeluarkan sedikit lenguhan-lenguhan nikmat yang dia
rasakan. Kemudian aku mulai memainkan vaginanya sampai basah. Tetap saja Ana tidak bangun sama sekali.
“Mas, udah dong. Kok malah Mbak Ana yang dimaenin. Giliran Reni dooong…” keluh Reni karena sudah terbalut
nafsu yang tinggi.
Padahal tadi sudah puas. Lagipula aku juga sudah bernafsu karena tadi dalam permainan pertama belum
selesai.
Kemudian aku melepaskan jilatan pada vagina Ana dan berpaling ke Reni ysng sudah mulai memuncak
nafsunya. Kemudian aku mulai naik ke atas ranjang dan menidurkan Reni. Secara intense, kami pun mulai
pagutan. Tetapi ketika kami berciuman, beda sekali dengan yang pertama. Seperti disirap, kucium pipinya,
mulutnya, berhenti lama di situ. Mulut kami berpagut seperti memecah ribuan rindu. Lidah kami bermain di
sana.
Tidak lama kemudian, kuturunkan lidahku ke arah lehernya, dia menggelinjang, matanya terpejam, tangannya
bergidik seperti menahan gelombang perasaannya sendiri. Ketika putingnya kuraba, dia mulai melenguh.
Dengan gerakan halus, aku mulai meremas-remas sehingga Reni merasa keenakan. Sementara bibirku sudah
beralih, tidak lagi di bibirnya tetapi sudah menjilati telinga, dan lehernya.
Karena buah dadanya sudah terbuka, mulutku pun bergeser ke puting susunya yang sudah menegang. Ketika
kumainkan dengan lidahku, lenguhannya semakin panjang. Tangan kananku pindah ke arah vaginanya dan mulai
meremasnya. Sambil memainkan klitorisnya, aku terus menjilati kedua payudaranya. Ketika aku merasakan
kemaluannya sudah sangat basah, aku mulai bernafsu untuk melakukan foreplay yang lebih lama. Tidak lama
kemudian, mulutku menjilat ke arah perut, pinggang dan sasaran terakhir adalah klitorisnya yang merah.
Karena tidak tahan, Reni berontak dan ingin merubah posisi.
“Ren, duduk di depan mukaku…” pintaku sambil menolongnya berpindah posisi.
Dia pun kemudian duduk dan menempatkan liang kenikmatannya tepat di wajahku. Lidah dan mulutku kembali
memberikan kenikmatan baginya. Responnya mengejutnya.
“Aughhh…” setengah berteriak dan kedua tangannya meremas buah dadanya. Kuhisap dan kujilati terus,
semakin basah liang kenikmatannya.
Tiba-tiba Reni berteriak, keras sekali, “Aahhh… ahhh,” matanya terpejam dan pinggulnya bergerak-gerak di
wajahku.
“Aku.. keluar,” sambil terus menggoyangkan pinggulnya dan tubuhnya seperti tersentak-sentak.
Mungkin inilah orgasme wanita yang paling jelas kulihat. Dan tiba-tiba, keluar cairan membanjir dari
liang kenikmatannya. Ini bisa kurasakan dengan jelas, karena mulutku masih menciumi dan menjilatinya.
“Aduh… Mass.. enak banget. Lemes deh.” katanya. Dia terkulai menindihku.
“Enak?”, tanyaku.
“Enak banget, kamu pinter yah. Ngga pernah lho aku klimaks kayak tadi.”
“Akh, yang bener..? Kamu kan tadi udah ngerasain.” kataku mengingatkan pada permainan pertama kami.”
“Tapi, uuhh… lebih enak yang ini..”
Ternyata Reni masih menikmati sisa-sisa klimaksnya. Tetapi karena belum puas, langsung saja kujilat
kembali liang kemaluannya. Semakin lama semakin asyik dan sangat enak, dan dia pun merintih-rintih kecil.
“Mass… nakal ahhh… kok… akkhh… dimaenin lagi… ouuchh… siiich… uwuuhh ooo… sstt akhs… akhs… akhs… ooohhh
aahh… sstth,” sambil tubuhnya agak bergerak tidak karuan, mungkin jilatanku tidak seberapa tetapi kulihat
dia sedang keasyikan menikmati jilatanku.
Lalu dia berdiri dan menarik tubuhku ke lantai. Di situ kami berciuman lagi, entah kenapa aku merasakan
sesuatu yang hangat di sekitar liang kemaluannya, kuingin batang kemaluanku dimasukkannya ke lubang
kemaluannya. Soalnya aku masih ragu. Walaupun tadi sih berani. Tetapi takut si Ana bangun. Kemudian aku
memberanikan untuk bicara.
“Ren, aku masukin lagi yaaa… Tadi kan belum puass…”
Reni tidak menjawab. Dia hanya merintih keenakan. Karena malas bermain sambil berdiri, aku mendorong Reni
hingga tertindih oleh badanku. Reni mengerang keras karena vagina tertindih oleh adikku yang sudah
menegang tinggi. Kemudian mulai lagi kugerakkan tanganku mencakar halus pinggangnya sampai ke
payudaranya. Reni meremas kedua tanganku, menahan geli yang ditimbulkannya.
“Ssshh… ssshhh!” Reni mendesis berkali-kali menahan kenikmatan itu.
Kembali aku memainkan klitorisnya dengan tanganku, sementara kujilati kedua pahanya.
“Aaahhh… ssshhh,” Reni mengerang lirih.
Aku menikmati aroma kewanitaannya yang semerbak bersamaan keluarnya cairan dari liang kemaluannya.
Kubenamkan wajahku ke liang kemaluannya sambil menjilati bibir kemaluannya. Klitorisnya yang berwarna
merah jambu kukulum sambil kumainkan dengan lidahku. Tubuh Reni menggelinjang bergetar.
“Uuuhffsss… aaahhh!” Reni menjerit menahan kenikmatan sambil tangannya menggenggam tepi ranjang.
Kurasakan cairan kemaluannya deras mengalir dan kuhisap dengan penuh kepuasan.
“Masss… masukin sekarang.. aku ngga tahan nih..” Reni lirih memohonku untuk segera memasuki tubuhnya.
Aku segera menempatkan tubuhku di atas tubuhnya yang ramping, seksi serta kencang itu. Berdesir darahku
melihat Reni terbaring polos telanjang. Ini bukan kesekian kalinya aku mengaguminya. Badan Reni kurus
tetapi kencang dan atletis seperti pelari sprinter tetapi untungnya tidak sampai berotot.
“Maass… cepat doong… aakkhh.. ngga tahan nih…”
“Ok, tenang aja..”
Sejenak sempat kudengar Reni mendesis saat meraih kemaluanku.
“Uuu… besar dan kuat..” ujarnya setengah berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Begitu ujung kepala batang kejantananku menempel di bibir kewanitaannya, kurasakan getaran listrik yang
mulai menjalar di seluruh tubuhku. Lalu perlahan kudorongkan ke dalam liang kemaluannya.
“Uuhhss… yess, Masss… uuuffssh,” Reni mengerang sambil mendongakkan kepalanya.
Dengan satu dorongan berikutnya, batang kemaluanku sudah masuk secara penuh ke dalam liang kenikmatan
Reni yang hangat dan tebal. Reni mengalungkan kedua tangannya di leherku dan kedua kakinya melingkar di
pinggangku.
Aku mulai gerakan memompa liang kemaluannya.
“Yess… ufff Maas…” Reni menjerit halus sambil memejamkan matanya.
Gerakanku semakin lama semakin cepat dengan tekanan yang semakin kuat menerobos kedalaman liang kemaluan
Reni yang merespon dengan berdenyut-denyut seperti memijit batang kemaluanku.
Tiba-tiba Reni membuka matanya dan berbisik lirih,
“Mas ganti posisi… aku mau nih keluar nih..”
Kami segera ganti posisi, badan Reni membalik dalam posisi menungging (doggy style). Katanya dia biasa
orgasme dalam posisi ini.
Aku menuruti permintaan Reni yang jelas dalam posisi ini aku jadi bisa melihat postur Reni lebih lengkap.
Biarpun Reni ramping, tetapi dia memiliki pantat yang padat dan berisi sehingga dengan pinggangnya yang
ramping makin membuat pantatnya montok. Aku segera mengarahkan batang kemaluanku kembali, kali ini
penetrasi dari belakang.
“Srrrt…” makin lancar penetrasiku kali ini soalnya bagian luar liang kemaluan Reni makin basah.
Reni menggenggam pegangan ranjang degan kedua tangannya. Aku menciumi lehernya dari belakang sambil
kadang-kadang menggigit pundaknya. Ternyata Reni sangat aktif dalam posisi ini. Dia semakin aktif
bergerak, selain mengikuti gerakan maju mundurku, pinggulnya pun bergoyang mengocok batang kemaluanku.
“Reni… pinggul kamu hebat banget,” aku berbisik terengah-engah.
Reni menjawabnya dengan erangan-erangan, dia menoleh kepadaku sambil menggigit bibir bawahnya. Terlihat
peluh membasahi wajahnya yang makin memerah.

Sesaat kemudian dia berbisik kepadaku,
“Ouuchhh.. sayang… lebih cepat!” suaranya diikuti deru nafas yang memburu.
Rupanya dia sudah semakin mendekati klimaks.
Aku pun meresponnya dengan gerakan yang lebih cepat dan keras. Kutusukkan batang kemaluanku makin dalam
ke liang kemaluannya seiring perasaan klimaks yang sudah di ambang.
“Aaahhh Uuuh Sssh… teruuus Mas… ahhh…” Reni menjerit sambil bergerak makin liar sampai ranjangnya
berderik-derik.
Kuteruskan gerakanku dengan mengerahkan sekuat tenaga mengimbangi gerakan liar Reni.
Ana masih tidur ketika Reni tiba-tiba menjerit,
“Aaah… uuhhhfffssshhh… Masss…” kepalanya mendongak, tubuhnya bergetar hebat dan kurasakan semburan hangat
dari liang kewanitaannya merembes sampai ke buah kemaluanku.
Aku pun melepaskan jutaan spermaku menyemprot kencang memenuhi karet kondom yang kupakai.
“Uuu… yess…” Reni mengakhiri gelombang kenikmatan dan mengerang sambil menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Ouuhhh.. Masss, kamu hebat sekali… aahh…”
Mungkin bisa dibilang ini adalah permainan terbaikku dibandingkan dengan Ana. Kemudian kami pun sempat
tertidur berpelukan di kamar Ana.
Jam 5 pagi Reni balik ke kamarnya dan aku pun tidur di kamarku sendiri. Pukul 10:00, aku bangun dan
mempersiapkan diri untuk kembali pulang ke kotaku. Aku diantar Om ke terminal bus, aku tidak sempat pamit
dengan Ana dan Reni karena mereka belum bangun. Reni kelelahan karena habis bertempur denganku sepanjang
malam, sedang Ana masih terpengaruh CTM. Tante sendiri belum bangun juga. Si Reni memang gila seks. Hari
itu hari Kamis, jadwalku adalah harus berobat ke dokter spesialisku.
Tetapi sial, di jalan perutku terasa sakit, sepertinya diare. Aku terpaksa turun di jalan dan mencari
restoran terdekat untuk buang hajat. Sampai di rumahku pukul 8 malam dan itu berarti aku tidak jadi ke
dokter. Tetapi aku tetap tersenyum simpul, kalau mengingat baru saja aku mendapatkan dua perawan ting- ting.

0 comments:

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut